Keluarga Alm. Prada Josua Lumban Tobing Temui Komnas HAM, Minta Proses Hukum Transparan

Jakarta, Genta Online – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) kembali menerima kunjungan keluarga Alm. Prada Josua Lumban Tobing, anggota TNI AD, pada Kamis, 13 Maret 2025. Pertemuan yang berlangsung di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, itu diterima langsung oleh salah satu Komisioner Komnas HAM, Dr. Uli Parulian, SH., MH., beserta dua staf ahli.
Keluarga korban yang hadir dalam pertemuan tersebut terdiri dari ayah dan ibu kandung almarhum, didampingi tim penasihat hukum Dr. Freddy Simanjuntak, SH., MH., dan Syafrudin Simbolon, SH., MH.
Wilson Lumban Tobing, ayah korban, menyampaikan kepada awak media bahwa Alm. Prada Josua Lumban Tobing ditemukan meninggal dunia dengan kondisi leher terikat tali di gudang logistik Markas Yonif 132 Salo, Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau, pada Minggu, 30 Juni 2024, sekitar pukul 23.30 WIB.
Untuk mengungkap penyebab kematian, pihak keluarga meminta ekshumasi dan autopsi yang dilakukan oleh Tim Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau pada Senin, 23 Desember 2024. Hasil autopsi kemudian dibacakan pada Rabu, 15 Januari 2025, di Aula Gedung Denpom 1/3 Pekanbaru, yang turut dihadiri oleh keluarga korban, tim penasihat hukum, serta ahli forensik pendamping keluarga dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), dr. Asan Petrus.
Dalam pembacaan hasil autopsi, ditemukan luka lecet di bagian dahi korban akibat benturan benda tumpul, serta patah tulang lidah dan leher. Menurut dr. Asan Petrus, kondisi ini tidak lazim terjadi pada kasus bunuh diri dengan cara gantung diri. Dengan temuan tersebut, pihak keluarga meyakini bahwa kematian Alm. Prada Josua bukanlah bunuh diri, melainkan akibat dugaan penyiksaan atau penganiayaan sebelum akhirnya dibuat seolah-olah korban meninggal karena gantung diri.
Tim penasihat hukum keluarga korban meminta Komnas HAM RI mengeluarkan rekomendasi kepada Panglima TNI agar segera menindaklanjuti temuan Tim Forensik secara profesional dan berkeadilan. Mereka menuntut agar pelaku dugaan pembunuhan segera diungkap dan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Selain itu, tim penasihat hukum juga meminta Komnas HAM mendesak Panglima TNI untuk menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga korban melalui penasihat hukumnya. Mereka menegaskan bahwa autopsi tersebut dibiayai oleh keluarga korban, sehingga mereka berhak mendapatkan salinan hasilnya.
Dr. Freddy Simanjuntak menegaskan bahwa hak penasihat hukum untuk memperoleh dokumen tersebut diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan bahwa advokat berhak memperoleh dokumen atau informasi yang berkaitan dengan pembelaan kliennya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pihak TNI untuk menahan hasil autopsi dari pihak keluarga.
Komisioner Komnas HAM RI, Dr. Uli Parulian, SH., MH., mengapresiasi perjuangan keluarga korban dalam mencari keadilan. Ia berjanji akan menindaklanjuti perkara ini kepada Panglima TNI sesuai kewenangan yang dimiliki Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM menegaskan bahwa semua pihak, termasuk institusi negara seperti TNI, wajib memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan dan adil, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menekankan pentingnya supremasi hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan anggota militer.
Dengan adanya desakan dari keluarga korban, penasihat hukum, serta keterlibatan Komnas HAM, diharapkan kasus ini dapat segera diusut secara profesional dan pelaku yang bertanggung jawab dapat diproses sesuai hukum yang berlaku. (lelek)