Masyarakat Adat Kritik Penegakan Hukum di TNTN: Jangan Tebang Pilih, Anak Negeri Ditangkap, Cukong Dibiarkan

Selasa, 10 Juni 2025 | 09:23:53 WIB
Masyarakat Adat Kritik Penegakan Hukum di TNTN: Jangan Tebang Pilih, Anak Negeri Ditangkap, Cukong Dibiarkani Foto:

Pekanbaru — Penegakan hukum di kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau kembali menuai sorotan. Masyarakat adat di Riau melalui Lembaga Adat Negeri (LAN) Riau Daratan meminta aparat penegak hukum berlaku adil dan tidak tebang pilih dalam menertibkan pelanggaran hukum di kawasan hutan negara tersebut.

"Kami mendukung penegakan hukum, tapi harus adil. Jangan ada kesan kalau pelakunya masyarakat anak keponakan dari tanah Melayu sebagai pemilik ulayat, langsung main tangkap. Tapi kalau pelakunya cukong atau pendatang, malah dibiarkan," tegas Herman, Juru Bicara LAN Riau Daratan, Selasa (10/6/2025).

Kritik ini muncul setelah Polda Riau dengan cepat memproses dan menangkap sejumlah anak kemakan dan tokoh adat di Kabupaten Kampar, yang membuka lahan hanya puluhan hektare di kawasan 13 Koto Kampar. Sementara itu, sejumlah pihak yang diduga sebagai pemodal besar atau cukong penggarap ratusan bahkan ribuan hektare sawit secara ilegal di kawasan TNTN, dinilai belum tersentuh hukum.

"Belum ada satupun cukong ditangkap, malah ada yang dibiarkan memanen sawit. Ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial," sambung Herman.

Satgas PKH Relokasi Warga TNTN

Sementara itu, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) secara resmi mengumumkan relokasi mandiri kepada masyarakat yang mendiami kawasan TNTN. Pengumuman ini disampaikan melalui spanduk yang dipasang di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan.

Satgas PKH menetapkan batas waktu relokasi mandiri dimulai dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Masyarakat diminta segera meninggalkan kawasan TNTN, yang merupakan tanah negara dan hutan konservasi yang dilindungi.

Dalam pengumuman Satgas PKH, aktivitas seperti menetap, berkebun, membakar lahan, hingga mendirikan rumah di kawasan hutan dinyatakan melanggar hukum. Satgas memperbolehkan panen terbatas selama tiga bulan bagi sawit berusia lebih dari lima tahun, tapi melarang aktivitas pemeliharaan maupun penanaman baru.

Hari ini, Selasa (10/6/2025), Tim Pengarah Satgas PKH dijadwalkan mengunjungi lokasi pemasangan pengumuman di Dusun Toro Jaya. Ketua Tim Pengarah, Menteri Pertahanan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, disebut akan hadir langsung memimpin kunjungan simbolik ini. Agenda kegiatan mencakup pemasangan plang larangan, penanaman pohon, dan konferensi pers.

Satgas PKH dibentuk berdasarkan Perpres No. 5 Tahun 2025 dan diketuai Menhan Sjafrie, dengan anggota dari Kejaksaan Agung, TNI, Polri, dan sejumlah kementerian terkait.

Sutikno, Sekretaris Satgas PKH, menyatakan dari total 81 ribu hektare TNTN, hanya sekitar 12 ribu hektare hutan asli yang tersisa. Selebihnya telah dirambah dan dikonversi menjadi kebun sawit oleh individu maupun kelompok, termasuk perusahaan besar.

“Ini tanah negara, tapi dikuasai kelompok tertentu. Kita akan ambil kembali,” ujar Sutikno di Jakarta, Senin (9/6/2025).

Langkah Satgas PKH disebut sebagai alarm bagi cukong sawit yang selama ini menguasai TNTN. Namun di sisi lain, justru menimbulkan kecemasan di kalangan petani kecil yang telah lama menggantungkan hidup pada kebun sawit di kawasan itu.

“Masyarakat resah. Mereka sudah kelola kebun bertahun-tahun, takut disita. Tapi yang cukong besar tak tersentuh,” ujar Andi, warga setempat.

Sebelumnya, Yayasan Riau Madani mengungkap adanya kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN yang diduga terafiliasi dengan korporasi PT Inti Indosawit Subur. Meskipun gugatan hukum telah inkrah, sampai kini belum ada eksekusi atau tindakan dari pemerintah.

Berbagai upaya penyelamatan TNTN sebelumnya selalu gagal, termasuk pembentukan Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) tahun 2016 dan agenda GNPSDA oleh KPK pada 2015 yang tak berlanjut.

TNTN kini menjadi salah satu hutan konservasi dengan tingkat kerusakan terparah di Indonesia. Dari luas total 81,7 ribu hektare, lebih dari 65 ribu hektare telah rusak dan dikonversi menjadi kebun sawit ilegal.

Kini, Satgas PKH ditantang membuktikan komitmen penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. (rls)

Tulis Komentar