Tragedi di Muara Mahat Baru: Ketika Sekolah Negeri Menolak Anak Miskin

KAMPAR--Di sebuah sudut tenang Desa Muara Mahat Baru, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, tersimpan kisah yang membuat hati siapa pun terenyuh.
Seorang anak SD Negeri 022 Muara Mahat Baru — sebut saja R — kini bukan lagi duduk di bangku sekolah. Sudah tiga tahun ia memungut brondolan sawit di kebun, menggantikan pena dengan karung goni.
Bukan karena malas belajar.Bukan karena tak mau sekolah. Tapi karena dikeluarkan.
Ya, dikeluarkan oleh kepala sekolahnya sendiri, Buk Yen, tanpa alasan jelas.
“Katanya karena orang tuanya tak mampu memenuhi kebutuhan sekolah. Padahal sekolah negeri itu gratis!” kata seorang warga dengan nada tinggi, Selasa (7/10/2025).
Suara itu menggema di antara warga yang mulai kehilangan kesabarannya. Mereka merasa harga diri masyarakat kecil telah diinjak.
“Ini bukan sekadar soal satu anak. Ini soal kemanusiaan,” ujar warga lain dengan mata berkaca-kaca. “Apa arti program wajib belajar kalau anak miskin justru ditolak sekolah?”
Kabar memilukan itu kini menyebar cepat dari rumah ke rumah, dari warung kopi hingga grup WhatsApp warga. Kecaman terhadap sang kepala sekolah terus bergulir.
Bagi masyarakat Muara Mahat Baru, tindakan itu bukan hanya melanggar aturan, tapi juga mencoreng nurani dunia pendidikan.
Sementara itu, Buk Yen — sang kepala sekolah yang disebut-sebut sebagai dalang keputusan sepihak itu — masih bungkam. Beberapa warga mengaku mencoba menghubunginya, namun tak direspons.
“Seolah bersembunyi, tak mau menjawab,” kata seorang warga singkat.
Kini mata masyarakat tertuju pada Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kampar.
Mereka menuntut keadilan, agar oknum kepala sekolah tersebut diperiksa dan diberi sanksi tegas.
“Jangan biarkan anak-anak miskin kehilangan masa depannya hanya karena mereka tak punya uang,” desak warga.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Kampar.
Di tengah gencarnya pemerintah menggaungkan pendidikan gratis dan wajib belajar, realitas di Muara Mahat Baru justru menunjukkan sebaliknya: ada anak yang kehilangan haknya belajar, bukan karena tak mau sekolah, tapi karena dikeluarkan dari sekolahnya sendiri.
Sebuah ironi yang menggores hati bangsa — di mana harapan anak kecil pupus di tempat yang seharusnya menjadi gerbang masa depannya. (Tim)