Investigasi: Mafia Tanah di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Desa Mamahan Jaya, Pelalawan

Pelalawan, Riau – Di balik rimbunnya hutan dan kesuburan tanah di Desa Mamahan Jaya, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, tersimpan cerita yang tidak banyak diketahui masyarakat luas. Sebuah kawasan seluas 1000 hektar yang seharusnya dilindungi sebagai Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini mencuat setelah investigasi Gentaonline mengungkapkan adanya dugaan kuat keterlibatan mafia tanah dalam penguasaan dan peralihan fungsi lahan tersebut, yang sampai saat ini tampaknya belum tersentuh oleh hukum.
Menurut data yang dihimpun, kawasan ini tercatat dalam Peta Kawasan Hutan Provinsi Riau (SK903/MENLHK/SETJEN/ PLA2/12/2016) sebagai bagian dari HPT. Namun, kenyataannya, sebagian besar lahan tersebut kini telah dibangun perkebunan kelapa sawit, yang diolah oleh sejumlah individu dengan dominasi pengelola asal Pekanbaru.
Kehilangan Fungsi Hutan dan Implikasinya.Lahan yang sebelumnya dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan hutan ini, kini tampak gersang dengan adanya monokultur kelapa sawit yang mendominasi. Aktivitas ini tidak hanya melanggar peraturan terkait peralihan fungsi lahan hutan, namun juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
Gerakan Pemuda Peduli Pelalawan, yang dipimpin oleh Joe Kampe, mengungkapkan kekhawatirannya. “Seharusnya kawasan HPT ini dilindungi dan hanya boleh dikelola oleh pihak yang memiliki izin resmi. Namun, kenyataannya banyak pihak yang menguasai lahan tanpa izin, yang jelas-jelas melanggar hukum,” ujarnya.
Identitas Pengelola Lahan dan Keberadaan Mafia Tanah.Hasil penyelidikan Gentaonline mengidentifikasi beberapa nama yang diduga terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit ini. Mereka adalah individu berinisial Y, OM, L, dan Pak Haji, yang diketahui berdomisili di Pekanbaru dan menguasai lahan tersebut. Walaupun mayoritas pekerja yang ada di perkebunan tersebut berasal dari masyarakat setempat, pengelolaan dan keuntungan diduga hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Sementara itu, pihak yang berwenang, seperti Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan, mengaku tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai peralihan fungsi lahan ini. Pihak berwenang juga menegaskan komitmennya untuk memberantas mafia tanah yang merajalela di wilayah ini.
Sanksi Hukum yang Mengancam. Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI) yang dipimpin oleh Wagimin, melalui pernyataannya, menjelaskan bahwa siapa pun yang menguasai lahan di kawasan hutan, baik itu Hutan Lindung maupun HPT, bisa dijerat dengan sejumlah pasal berat. Di antaranya adalah Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 92 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta Pasal 40 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Selain itu, adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mungkin terkait dengan transaksi ilegal ini, semakin menambah kompleksitas kasus ini. Para pelaku yang terbukti terlibat dalam mafia tanah dan TPPU bisa dikenakan pidana penjara hingga 15 tahun dengan denda mencapai miliaran rupiah.
Penegakan Hukum yang Masih Diragukan.Meskipun pihak Kementerian ATR/BPN dan Kepolisian telah menyatakan akan memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap mafia tanah, banyak pihak yang meragukan efektivitas tindakan tersebut. Ketua Kementerian ATR/BPN, Nusron Wahid, menegaskan dalam sebuah video bahwa akan ada “zero toleransi” terhadap mafia tanah, dan mereka yang terbukti bersalah akan dijerat dengan pasal-pasal berlapis.
Namun, di lapangan, warga setempat dan aktivis lingkungan mempertanyakan apakah tindakan nyata akan segera diambil, mengingat fenomena mafia tanah yang sudah berlangsung lama di wilayah tersebut.
Kasus peralihan fungsi lahan di Desa Mamahan Jaya ini mencerminkan betapa besarnya tantangan dalam penegakan hukum di sektor kehutanan dan pertanahan di Indonesia. Meskipun ada upaya dari pemerintah untuk memberantas mafia tanah, kenyataannya praktik ilegal ini masih terus berkembang, menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat setempat.
Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan siapa saja yang terlibat dan bagaimana langkah konkret yang harus diambil agar kawasan hutan yang telah dilindungi bisa kembali berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya. Ke depan, pengawasan yang lebih ketat dan koordinasi antar lembaga terkait akan menjadi kunci dalam memberantas praktik mafia tanah di Indonesia.
Oleh Tim Investigasi Gentaonline