Diduga Lakukan Pungli dalam Kegiatan Perpisahan, SMK Telkom Pekanbaru Terancam Sanksi Hukum

Senin, 12 Mei 2025 | 14:30:30 WIB
Diduga Lakukan Pungli dalam Kegiatan Perpisahan, SMK Telkom Pekanbaru Terancam Sanksi Hukumi Foto: Surat dugaan pungli oleh pihak sekolah

Pekanbaru – Dugaan pungutan liar (pungli) dalam kegiatan perpisahan siswa kembali mencuat, kali ini menimpa SMK Telkom Pekanbaru. Salah satu media lokal sebelumnya memuat pemberitaan bahwa siswa yang tidak membayar biaya perpisahan tidak akan mendapatkan pengumuman kelulusan. Meskipun pihak sekolah telah membantah, dugaan pungli tersebut kini menjadi sorotan serius publik.

Kepala SMK Telkom Pekanbaru, M. Faisal, S.Pd., M.Pd., dalam klarifikasinya kepada media, Senin (12/05/2025), menyebut pemberitaan tersebut cenderung tendensius dan tidak berimbang. Ia membantah bahwa pembayaran uang perpisahan menjadi syarat pengumuman kelulusan.

“Pengumuman kelulusan sudah disampaikan pada 5 Mei. Kegiatan perpisahan masih dalam tahap perencanaan, belum ada keputusan resmi,” kata Faisal. Ia juga mengaku sudah mengetahui pihak yang menyebarkan informasi tersebut dan akan memanggil wali murid terkait untuk klarifikasi.

Namun, dari informasi dan dokumen yang beredar, termasuk adanya surat penggalangan dana serta transfer sejumlah uang dari orang tua murid, dugaan pungli semakin menguat. Terlebih jika pungutan tersebut tidak melalui mekanisme resmi sesuai Permendikbud dan tanpa dasar persetujuan bersama dalam rapat komite sekolah yang sah.

Pungli di sekolah swasta tetap dilarang secara hukum. Berdasarkan Pasal 368 KUHP dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang — termasuk pengelola lembaga pendidikan swasta — yang dengan sengaja memungut biaya tanpa dasar hukum yang sah dan memaksakan pembayaran kepada peserta didik atau orang tua, dapat dijerat pidana. Selain itu, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan bahwa pungutan hanya boleh dilakukan secara sukarela, transparan, dan tidak bersifat mengikat.

“Sekolah swasta tetap tunduk pada hukum nasional. Tidak bisa berlindung di balik status ‘bukan negeri’ untuk melakukan pungutan yang melanggar aturan. Bila terbukti ada unsur pemaksaan atau ancaman, itu bisa masuk ranah pidana,” tegas praktisi hukum pendidikan, Alamsah SH MH., kepada media.

Jika benar terbukti, pelaku dapat dijerat Pasal 12 e UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda minimal Rp 200 juta. Masyarakat pun dapat melaporkan praktik tersebut ke Ombudsman RI atau pihak kepolisian.

Publik mendesak pihak yayasan dan Dinas Pendidikan Provinsi Riau segera melakukan audit dan investigasi. Dunia pendidikan harus bersih dari praktik pungli yang mencederai kepercayaan masyarakat dan mencoreng nilai keadilan. (lelek)

Tulis Komentar