Sengketa Tanah DPRD Inhil: Sidang Masuki Tahap Pemeriksaan Setempat, Kuasa Hukum: Fakta Lapangan Kuatkan Gugatan

Indragiri Hilir —Sidang perkara perdata Nomor 17/Pdt.G/2024/PN.Tbh yang diajukan oleh Abdul Samad terhadap Bupati Indragiri Hilir (Inhil) dan sejumlah pihak terkait kepemilikan lahan yang saat ini berdiri Gedung DPRD Inhil, kini memasuki agenda pemeriksaan setempat (PS), Kamis pagi, 12 Juni 2025.
Sidang dibuka terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Tembilahan, kemudian dilanjutkan langsung di lokasi objek sengketa, tepatnya di Jalan H.R. Soebrantas, Tembilahan.
Majelis hakim yang memimpin pemeriksaan terdiri dari Janner Kristiadi, SH., MH (Ketua), Pantun Lumban Gaol, SH., MH dan Jonta Ginting, SH., MH. Hadir dalam pemeriksaan tersebut para pihak, baik penggugat bersama penasihat hukumnya maupun tergugat dan turut tergugat bersama kuasa hukum masing-masing.
Penasihat hukum penggugat, Dr. Freddy Simanjuntak, SH., MH menegaskan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, ditemukan bahwa batas-batas fisik dan sempadan tanah selaras dengan dalil yang tertuang dalam posita gugatan serta bukti surat tanah atas nama Abdul Samad.
"Ini menjadi penguat bahwa dalil kami bukan mengada-ada. Dengan adanya kesesuaian batas-batas sebagaimana dalam sertifikat dan fakta di lapangan, kami berharap Majelis Hakim mempertimbangkan dengan cermat dan adil agar gugatan dikabulkan," ujar Freddy.
Menurut Freddy, di atas tanah yang disengketakan tersebut kini telah berdiri Gedung DPRD Kabupaten Inhil dan sejumlah ruko yang dibangun oleh pihak tergugat. Ia menyebut pembangunan tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
Polemik Putusan MA
Meski Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan putusan kasasi perkara No. 94 K/TUN/2024 tertanggal 27 Februari 2024 yang menyatakan gugatan Abdul Samad “tidak dapat diterima”, Freddy menegaskan bahwa putusan tersebut tidak menyentuh pokok perkara.
“Putusan kasasi bukan berarti pihak tergugat seperti BPN, Pemkab Inhil, atau para pemilik sertifikat lainnya menang. Mahkamah Agung hanya menyatakan perkara ini bukan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), melainkan kewenangan Pengadilan Umum,” tegas Freddy.
Dengan kata lain, substansi perkara terkait kepemilikan tanah belum pernah diperiksa secara materil. Ia juga menilai narasi bahwa Pemkab Inhil menang di MA adalah informasi keliru dan menyesatkan.
Putusan Sebelumnya Justru Cabut Sertifikat Pemkab
Freddy mengungkap bahwa pada dua tingkat peradilan sebelumnya, yaitu PTUN Pekanbaru dan PT TUN Medan, telah diputuskan pencabutan dan pembatalan atas dua sertifikat Hak Pakai milik Pemkab Inhil serta 12 Sertifikat Hak Milik atas nama warga lainnya yang berdiri di atas tanah milik Abdul Samad.
Yang menjadi ironi, kata Freddy, BPN Inhil sebelumnya bahkan telah menerbitkan tiga Sertifikat Hak Milik pada tahun 2007 atas hasil jual beli sebagian tanah milik Abdul Samad kepada pihak ketiga, serta SKGR oleh pemerintah kecamatan pada tahun 2006 dan 2007.
Namun secara kontradiktif, pada tahun 2008, BPN kembali menerbitkan Sertifikat Hak Pakai atas nama Pemkab Inhil di lokasi yang sama.
Freddy juga mengutip Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
“Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.”
Selain itu, Pasal 37 ayat (1) dari UU yang sama menyebutkan:
“Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Tak hanya itu, Freddy juga menilai tindakan penerbitan sertifikat baru oleh BPN di atas tanah yang telah memiliki bukti penguasaan sebelumnya merupakan pelanggaran terhadap asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
“Negara harus menjamin kepastian hukum atas hak milik warga negara, bukan justru memicu sengketa baru karena penerbitan sertifikat ganda yang menimbulkan konflik,” tegasnya.
Freddy menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan keadilan hukum atas nama kliennya, Abdul Samad, melalui jalur konstitusional di peradilan umum. (lelek)