Mengapa Izin Penggeledahan DPP PDIP tak Kunjung Turun?

Kamis, 16 Januari 2020 | 12:25:43 WIB
Mengapa Izin Penggeledahan DPP PDIP tak Kunjung Turun?i Foto:

GENTAONLINE.COM -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mengeluarkan izin penggeledahan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan hingga Rabu kemarin. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, ketiadaan surat persetujuan dewas tersebut membuat KPK tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengusut kasus dugaan suap antara kader PDIP Harun Masiku dan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.


"Sampai saat ini izin penggeledahan kantor PDIP belum turun. Namun, kami sudah mengajukan permohonan izin kepada dewan pengawas sesuai dengan prosedur," kata dia saat berada di Auditorium Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu (15/1).


Ghufron mengaku tidak tahu alasan dewas belum menerbitkan izin tersebut. Dia hanya memastikan pimpinan KPK akan mematuhi semua prosedur hukum dalam melakukan penegakan hukum. "Kami tidak boleh menabrak aturan. Meskipun ada tuntutan penanganan kasus korupsi, harus progresif," katanya. Ia menyerahkan kepada masyarakat bagaimana menilai dewas, apakah menghambat kinerja KPK atau tidak.


Berbeda terhadap kantor PDIP, menurut Ghufron, izin penggeledahan kantor KPU keluar pada Sabtu (11/1) malam. Akhirnya, KPK melakukan penggeledahan pada Senin (13/1). "Kami menemukan beberapa dokumen untuk disita," katanya.


Ia juga mengakui tempat yang akan digeledah seperti kantor PDIP akan diberi garis KPK sambil menunggu izin dewas untuk mengantisipasi risiko hilangnya alat bukti. Pemberian gari KPK di kantor PDIP di Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (9/1) diketahui gagal karena mendapat penolakan dari pihak partai banteng bermoncong putih.


Pada Kamis, KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024. KPK turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP Harun Masiku, serta seorang pihak swasta bernama Saeful.


KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019.


Gagalnya penyegelan dan penggeledahan kantor PDIP mendapat kritikan dari pegiat antikorupsi. Pasalnya, hal itu tidak terjadi sebelum munculnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Dewas KPK. Pada Rabu siang, Masyarakat Madani Antikorupsi menyindir dengan mengirimkan jamu antidiare agar pimpinan KPK tidak sakit.


"Kita tunggu langkah tegas KPK karena kita ketahui KPK baru melakukan penggeledahan di satu ruangan. Sementara, ada rencana juga melakukan penyegelan terhadap salah satu kantor partai politik yang sampai sekarang kita tidak tahu kapan penyegelan ini dilakukan," kata perwakilan Masyarakat Madani Antikorupsi, Ray Rangkuti.


Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Dr Oce Madril menilai lambatnya KPK dalam menegakkan hukum tersebut merupakan dampak nyata UU 19/2019. "Ya itu kan dampak konkret. Contoh konkret ya betapa Undang-Undang KPK itu memang akan memperlambat penegakan hukum," ujar Oce, Senin (13/1). (rep)

 
Tulis Komentar