Gagasan Nol Kemiskinan di Riau, Muhammadun Usulkan Distribusi Lahan Sawit Ilegal

PEKANBARU — Luasnya lahan sawit ilegal di Provinsi Riau membuka peluang untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Muhammadun, S.Sos, Juru Bicara Lembaga Adat Negeri (LAN) Riau Daratan, mengusulkan agar lahan-lahan sawit ilegal yang selama ini dikuasai korporasi, dialihkan dan dibagikan kepada masyarakat miskin sebagai bagian dari program reforma agraria.
Data dari sejumlah lembaga menunjukkan luas kebun sawit ilegal di Riau mencapai antara 1,8 juta hingga 2,52 juta hektare. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan sekitar 1,9 juta hektare di antaranya dikuasai oleh 117 perusahaan yang tidak memiliki izin sah. Sementara itu, per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Riau tercatat mencapai 473.040 orang atau 6,67 persen dari total populasi.
Muhammadun menilai lahan-lahan tersebut seharusnya tidak dibiarkan terus menerus dikelola oleh pihak yang tidak sah. Menurutnya, jika 2 juta hektare lahan sawit ilegal dibagikan kepada masyarakat, dan setiap kepala keluarga memperoleh dua hektare, lebih dari satu juta keluarga bisa terbantu.
"Jika diberikan langsung kepada masyarakat dengan pendampingan teknis dan kelembagaan, masyarakat akan mandiri. Ini bisa menjadi jalan menuju nol kemiskinan di Riau," ujarnya di Pekanbaru, Kamis (4/4/2025).
Usulan redistribusi ini merujuk pada sejumlah regulasi nasional, antara lain:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa tanah dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang membuka ruang distribusi tanah dari lahan negara atau hasil pelepasan kawasan hutan.
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 12 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme redistribusi tanah.
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 yang menegaskan evaluasi dan penundaan izin sawit di kawasan hutan.
Muhammadun menyebut bahwa pendekatan reformis seperti ini lebih tepat dibandingkan jika lahan hanya dikelola oleh BUMN atau pihak ketiga. “Model-model pengelolaan korporat seringkali tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat. Kita perlu solusi yang memberdayakan, bukan hanya merawat status quo,” katanya.
Gagasan ini bukan tanpa hambatan. Beberapa tantangan yang perlu diantisipasi mencakup kepastian hukum atas lahan, kapasitas masyarakat dalam mengelola kebun sawit, serta perlunya pendampingan dari hulu ke hilir. Di sisi lain, sebagian kebun ilegal juga berada di kawasan lindung yang membutuhkan proses rehabilitasi ekosistem.
Namun demikian, redistribusi lahan dinilai akan membawa dampak positif secara sosial dan ekonomi. Di antaranya, peningkatan pendapatan masyarakat desa, pengurangan kesenjangan ekonomi, serta pembangunan ekonomi berbasis komunitas lokal.
“Jika pemerintah serius, Riau bisa menjadi model keberhasilan reforma agraria di sektor sawit. Bukan hanya menyelesaikan persoalan legalitas, tetapi juga membawa perubahan struktural dalam distribusi sumber daya,” ujar Muhammadun. (lelek)