Rawan Conflict of Interest, Keberadaan Satgas PKH Perlu Dikaji Ulang Penegakan Aturan Tak Boleh Langgar Undang-undang Kehutanan

Pekanbaru – Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menjadi angin segar bagi penegakan aturan terkait pengelolaan kawasan hutan dan pembangunan kebun kelapa sawit. Selama ini, praktik pembangunan kebun sawit kerap tidak mengindahkan aturan yang berlaku, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan serta potensi kerugian negara, khususnya dari sisi penerimaan pajak.
Namun, dalam implementasinya, keberadaan Satgas PKH justru menimbulkan sejumlah persoalan baru. Salah satunya adalah potensi konflik kepentingan (conflict of interest) yang muncul akibat kewenangan besar yang dimiliki Satgas dalam menentukan areal perkebunan yang dianggap berada di kawasan hutan.
Praktisi hukum yang juga pemerhati lingkungan, Tommy Simanungkalit, SH., M.Kom., menyampaikan keprihatinannya terhadap cara kerja Satgas PKH yang dinilai kerap bertentangan dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Penetapan kawasan hutan oleh Satgas PKH sering dilakukan secara sepihak, tanpa melalui tahapan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Kehutanan. Hal ini tentu menimbulkan persoalan hukum dan membuka ruang terjadinya konflik kepentingan,” ujar Tommy, Sabtu (12/4), di Pekanbaru.
Menurut Tommy, selama ini Satgas PKH kerap memasang plang di areal kebun yang diklaim masuk kawasan hutan, bahkan melibatkan aparat bersenjata lengkap. Mirisnya, yang menjadi sasaran justru kebun-kebun milik masyarakat kecil.
“Pendekatan seperti ini menimbulkan rasa takut dan intimidasi di tengah masyarakat. Padahal, banyak dari mereka tidak memahami sepenuhnya aturan kehutanan,” tambahnya.
Tommy menegaskan, penetapan kawasan hutan harus melewati beberapa tahap, yaitu penunjukan kawasan, penataan batas, pemetaan, dan akhirnya penetapan kawasan secara resmi. Semua proses itu harus dijalankan sesuai Pasal 15 UU No. 41 Tahun 1999.
Ia mengingatkan, kewenangan besar yang dimiliki Satgas PKH sebagai lembaga ad hoc harus dibarengi dengan akuntabilitas dan pengawasan ketat. Bila tidak, lembaga ini bisa menjadi alat represif yang justru menghambat kepastian hukum dalam sektor perkebunan.
Meski begitu, Tommy tetap mendukung pembentukan Satgas PKH, namun dengan catatan: lembaga ini sebaiknya difokuskan untuk mengeksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), terutama terhadap areal kebun milik korporasi besar yang terbukti masuk kawasan hutan.
“Masih banyak kebun milik perusahaan besar seperti PT Duta Palma yang sudah inkrah tapi belum dieksekusi. Di sinilah seharusnya fokus utama Satgas PKH,” ungkapnya.
Tommy menutup pernyataannya dengan mengingatkan pemerintah agar menata kembali pola kerja Satgas PKH demi menciptakan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Jika tidak ditata ulang, keberadaan Satgas PKH justru dapat menimbulkan ketidakpastian yang berujung pada hengkangnya investor dari sektor perkebunan nasional.
“Upaya pemerintah menarik investasi ke sektor perkebunan jangan sampai dibayangi oleh tindakan sewenang-wenang dalam penertiban kawasan hutan. Penataan menyeluruh terhadap Satgas PKH sangat mendesak untuk dilakukan,” pungkasnya. (lelek)