Dugaan Pungli di SMKN 1 Kunto Darussalam Mencapai Rp 400 Juta, Mahasiswa Minta Kepsek Dicopot

Selasa, 24 Juni 2025 | 18:57:13 WIB
Dugaan Pungli di SMKN 1 Kunto Darussalam Mencapai Rp 400 Juta, Mahasiswa Minta Kepsek Dicopoti Foto:

Pekanbaru, 24 Juni 2025 — Sorotan terhadap dugaan praktik pungutan liar (pungli) di SMKN 1 Kunto Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, kian menguat. Klarifikasi yang disampaikan Kepala Sekolah Iffiandi, S.Si., M.M, justru dinilai sebagai bentuk pengalihan isu yang tidak menjawab substansi masalah. Hal itu disampaikan oleh Forum Mahasiswa Peduli Pendidikan Riau (Formappri) dalam konferensi pers di Pekanbaru, Selasa (24/6).

Formappri menilai bahwa klarifikasi tersebut lebih mengedepankan narasi pembelaan diri dan pencitraan, ketimbang menjelaskan inti dugaan pungli yang telah ramai dibicarakan publik. Dalam pernyataan sebelumnya, Kepala Sekolah menyebut bahwa semua kegiatan berbiaya telah melalui mekanisme rapat komite dan disepakati oleh orang tua. Ia menolak jika disebut adanya pungutan liar di sekolahnya.

Namun, tudingan tersebut dinilai tidak nyambung dan bahkan cenderung membelokkan isu utama. Koordinator Formappri, Sofyan SL, menyampaikan bahwa pihak sekolah justru tidak menjawab pokok persoalan, yakni soal dugaan pungutan biaya untuk Ujian Kompetensi Keahlian (UKK), Praktik Kerja Lapangan (PKL), serta kunjungan industri, yang nominalnya mencapai jutaan rupiah per siswa.

“Kami tidak pernah menyinggung soal kegiatan ekstrakurikuler, tetapi itu yang dibahas kepala sekolah. Ini semacam taktik pengalihan. Sekarang kami bertanya, aturan mana yang membolehkan siswa SMK Negeri membayar biaya untuk UKK dan PKL hingga Rp2 juta per anak? Kalau tidak bisa jawab, berarti jangan balik tuding publik menyebarkan informasi menyesatkan,” ujar Sofyan.

Formappri juga menyoroti narasi bahwa pungutan tersebut bersifat sukarela. Menurut mereka, jika sudah ada nominal tertentu yang ditetapkan, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai sumbangan sukarela, melainkan sudah masuk kategori pungutan, dan jika tidak memiliki dasar hukum, termasuk dalam pungutan liar.

Hal ini sejalan dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang secara tegas menyebutkan bahwa kontribusi dari masyarakat hanya dibenarkan dalam bentuk sumbangan sukarela, bukan pungutan yang mengikat, tidak boleh ditentukan nominalnya, dan tidak boleh bersifat memaksa. Apabila sudah ditentukan besaran dan menjadi syarat mengikuti kegiatan sekolah, maka hal tersebut berpotensi melanggar hukum.

“Kalau ditentukan Rp1,3 juta untuk ujian UKK dan Rp2 juta lebih untuk magang, dan setiap siswa wajib bayar, ini jelas bukan sumbangan. Ini pungutan. Dan karena tidak punya dasar hukum, maka bisa disebut pungutan liar,” tegas Sofyan.

Selain itu, dugaan pelanggaran ini juga berpotensi menabrak Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan dasar dan menengah di sekolah negeri menjadi tanggung jawab pemerintah. 

Sementara dalam Pasal 9 dan 11 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa peserta didik berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan bebas dari diskriminasi dalam pembiayaan.

Tidak hanya itu, dalam konteks penggunaan anggaran dan keuangan sekolah, praktik pungutan semacam ini juga bisa ditinjau dari UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa perbuatan memungut atau memaksa masyarakat membayar tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Lebih tajam lagi, Sekjend Formappri, Raja Pradigjaya, mempertanyakan peran Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau yang hingga kini belum memberikan pernyataan resmi. Ia menyebut bahwa Kabid SMK Disdik Riau, Taufik Hidayat, juga tidak mampu menjelaskan legalitas pungutan yang dilakukan oleh pihak sekolah.

“Sekolah-sekolah negeri dibiayai negara, sudah ada dana BOS. Kenapa siswa masih harus keluar uang sampai Rp2 juta untuk magang dan Rp1,3 juta untuk ujian? Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif. Ini potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran hak atas pendidikan,” ujar Raja.

Menurutnya, Formappri telah mengantongi bukti berupa kwitansi dan pernyataan tertulis dari wali siswa terkait pungutan tersebut. Termasuk bukti pembayaran kunjungan industri yang nominalnya mencapai Rp1.075.000 per siswa.

“Kami sudah serahkan semua data ini ke Disdik Riau. Tapi sampai hari ini mereka bungkam. Jangan-jangan memang ada yang dilindungi. Kalau Disdik terus diam, publik bisa menilai ini bagian dari sistem yang busuk,” tambah Raja.

Formappri menyatakan bahwa mereka akan terus mengawal persoalan ini hingga tuntas. Saat ini, tim hukum mereka tengah menyusun laporan resmi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Bahkan, rencana aksi damai dalam waktu dekat juga akan digelar di depan Kantor Disdik Riau sebagai bentuk desakan publik terhadap transparansi dan penegakan hukum.

“PLT Kadisdik dan Kabid SMK harus bertanggung jawab. Jika terbukti, Kepala SMKN 1 Kunto Darussalam layak diberi sanksi tegas. Jangan biarkan hak-hak siswa dipermainkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu,” tutup Raja.

Kasus ini menjadi potret nyata lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan di daerah. Jika tidak segera ditindaklanjuti, bukan tidak mungkin kasus serupa terjadi di sekolah-sekolah negeri lainnya di Riau. (Rls)

 

Tulis Komentar