Sengketa Tanah Gedung DPRD Inhil Memanas, Satu Sertifikat Hak Pakai Dituding Dipakai di Dua Lokasi Berbeda

Kamis, 03 Juli 2025 | 21:43:05 WIB
Sengketa Tanah Gedung DPRD Inhil Memanas, Satu Sertifikat Hak Pakai Dituding Dipakai di Dua Lokasi Berbedai Foto:

Tembilahan – Persidangan perkara perdata atas gugatan kepemilikan lahan oleh Abdul Samad terhadap Bupati Indragiri Hilir (Inhil) dan pihak terkait kembali bergulir di Pengadilan Negeri Tembilahan. Perkara yang teregister dengan nomor 17/Pdt.G/2024/PN.Tbh itu kini memasuki tahapan pembuktian saksi dari pihak tergugat pada Kamis (3/7/2025).

Dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Janner Christiadi Sinaga, SH, dengan anggota Pantun Andrianus L.G, SH dan Jonta Ginting, SH, sidang kali ini mendengarkan keterangan tiga saksi tergugat: Sayuti, Samad, dan Russian.

Kuasa hukum penggugat, Dr. Freddy Simanjuntak, SH, MH, menyatakan bahwa keterangan saksi tergugat justru memperkuat klaim kliennya, Abdul Samad. Ia menyoroti pernyataan Sayuti, yang menyebut bahwa orang tuanya, almarhum Gazali, memang pernah menjual tanah kepada Pemkab Inhil, tetapi lokasinya bukan di lokasi gedung DPRD saat ini, melainkan di Parit 14, dekat sungai. Sayuti juga menegaskan, almarhum tidak pernah menjual tanah kepada pihak tergugat lainnya, termasuk Tergugat IV, Djamilah, yang kini membangun ruko di Jalan Soebrantas, Tembilahan.

Lebih lanjut, Sayuti mengakui bahwa dirinya diminta menandatangani sebuah surat pernyataan pada Februari 2025, namun surat tersebut dibuat dan dikonsep oleh pihak Pemkab Inhil, dan dirinya hanya diminta membubuhkan tanda tangan. Hal ini menurut kuasa hukum penggugat menunjukkan dugaan adanya tekanan atau rekayasa dokumen.

Saksi lainnya, Samad, menyampaikan bahwa pada lokasi gedung DPRD Inhil saat ini, hanya terdapat satu Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama Pemkab Inhil, yaitu seluas 9.000 meter persegi. Namun ia tidak mengetahui nomor SHP tersebut.

Pernyataan Samad ini bersesuaian dengan surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Inhil Nomor 109/14.04/I/2019 tertanggal 30 Januari 2019, yang menyatakan bahwa SHP No. 76 Tahun 2008 atas nama Pemkab Inhil terletak di Parit 16, Jalan Lintas Terusan Mas/Lintas Beringin Tembilahan—berjarak sekitar 5 km dari lokasi kantor DPRD saat ini.

"Apakah mungkin satu SHP digunakan di dua lokasi berbeda? Ini kejanggalan utama yang tidak bisa dibiarkan begitu saja," ujar Freddy kepada wartawan usai persidangan.

Freddy menambahkan, klaim bahwa gugatan Abdul Samad telah kandas setelah Mahkamah Agung menyatakan perkara tidak dapat diterima lewat putusan kasasi Nomor 94 K/TUN/2024 adalah narasi keliru. Putusan itu, kata Freddy, bukan kemenangan bagi pihak tergugat, karena Mahkamah hanya menyatakan bahwa objek sengketa berada di ranah peradilan umum, bukan dalam yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Putusan itu tidak membahas substansi pokok perkara. Tidak ada satu pun disebut bahwa SHP No. 76 atau lainnya memiliki kekuatan hukum tetap," tegasnya.

Lebih lanjut, Freddy mengungkap bahwa PTUN Pekanbaru dan Pengadilan Tinggi TUN Medan sebelumnya telah memutuskan mencabut dua SHP atas nama Pemkab Inhil serta 12 sertifikat hak milik warga lainnya di atas tanah yang diklaim milik penggugat Abdul Samad.

Ironisnya, kata Freddy, BPN Inhil pada tahun 2006 dan 2007 justru pernah menerbitkan sertifikat hak milik kepada pembeli yang membeli tanah dari Abdul Samad. Tetapi, satu tahun kemudian, BPN kembali menerbitkan SHP No. 76 atas nama Pemkab di lokasi yang sama—yang menurut Freddy merupakan sumber konflik pertanahan ini.

Berdasarkan regulasi Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan bahwa sertifikat adalah alat bukti kuat, namun jika terbukti ada cacat administrasi atau diperoleh secara tidak sah, maka dapat dibatalkan melalui pengadilan.

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan pelakunya mengganti kerugian.

Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh, yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia—dan tidak dapat dihapus begitu saja oleh penerbitan SHP baru tanpa proses hukum.

Persidangan akan kembali dilanjutkan pada Kamis, 10 Juli 2025, dengan agenda mendengarkan tambahan saksi dari pihak penggugat serta beberapa turut tergugat lainnya. Penggugat berharap majelis hakim dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, berdasarkan bukti yang terungkap selama proses persidangan. (lelek)

 

Tulis Komentar