Muflihun Laporkan Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan SPPD 2020 ke Polresta Pekanbaru

Pekanbaru – Merasa dikriminalisasi dalam perkara SPPD fiktif tahun anggaran 2020, mantan Penjabat Wali Kota Pekanbaru, Muflihun, S.STP., M.AP., mengambil langkah hukum dengan melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangannya ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Pekanbaru, pada Ahad malam, 13 Juli 2025.
Didampingi tim kuasa hukumnya, Muflihun yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris DPRD Provinsi Riau, menyatakan bahwa namanya dicatut dalam dokumen perjalanan dinas berupa Surat Perintah Tugas (SPT) dan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) untuk kegiatan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta pada 2 hingga 4 Juli 2020.
“Saya pastikan tanda tangan itu bukan saya yang buat. Itu jelas dipalsukan,” tegas Muflihun kepada awak media usai membuat laporan.
Laporan resmi diterima oleh pihak kepolisian dengan Nomor: STPLP/533/VII/2025/POLRESTA PEKANBARU, dengan dasar hukum Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.
Ahmad Yusuf, S.H., salah satu kuasa hukum Muflihun, mengungkapkan bahwa laporan ini adalah hasil investigasi internal yang mendalam. Pihaknya menemukan dokumen SPT Nomor: 160/SPT/ dan SPPD Nomor: 090/SPPD/ yang ditandatangani secara tidak sah.
“Kami menemukan bukti bahwa tanda tangan klien kami dipalsukan. Diduga kuat, pelaku berasal dari internal yang memiliki akses langsung ke dokumen keuangan saat itu,” jelas Ahmad Yusuf.
Alumnus Universitas Islam Riau (UIR) itu juga menyebut bahwa pemalsuan serupa bisa saja terjadi dalam dokumen-dokumen lain yang kini tengah diperiksa penyidik di Polda Riau.
“Jika seluruh SPPD dan SPT itu ditunjukkan, kemungkinan besar akan ditemukan lebih banyak pemalsuan. Klien kami jelas bukan pelakunya,” tegasnya.
Dugaan Jejaring Lama Masih Aktif
Tim hukum juga mengaitkan dugaan ini dengan pola yang pernah terungkap dalam sidang kasus SPPD fiktif sebelumnya yang menjerat Plt Sekwan DPRD Riau, Tengku Fauzan Tambusai.
Dalam sidang 4 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Pekanbaru, sejumlah nama staf internal seperti Deni Saputra dan Hendri disebut terlibat aktif dalam manipulasi dokumen dan pencairan dana fiktif.
“Nama-nama ini pernah disebut di persidangan, tapi tidak pernah disentuh secara tuntas. Polanya sangat mirip,” kata Weny Friaty, S.H., anggota tim hukum lainnya.
Sementara itu, Khairul Ahmad, S.H., M.H., menilai jejaring lama yang tak tersentuh hukum memungkinkan praktik serupa terus berlanjut.
“Jika benar ditemukan bahwa pemalsuan juga terjadi pada nama pejabat lain, maka pusat masalah justru pada aktor-aktor lama yang tetap beroperasi di balik layar,” ungkap Khairul.
Dalam sidang sebelumnya, saksi mengaku dihubungi oleh Deni dan Hendri untuk meminjamkan nama dalam dokumen perjalanan dinas fiktif, dengan imbalan Rp1,5 juta per transaksi.
“Mengapa para saksi begitu percaya dan tidak mengonfirmasi ke atasan atau Plt Sekwan?” tanya tim hukum dalam sidang.
Muflihun: “Ini Demi Keadilan”
Muflihun menegaskan, pelaporan ini bukan untuk membela diri semata, tetapi untuk menuntut keadilan dan memulihkan nama baik.
“Saya percaya hukum masih ada. Tapi saya tidak bisa diam saat kehormatan saya diinjak oleh mereka yang menyalahgunakan jabatan dan dokumen,” tutupnya. ***