BRK Syariah Disorot: Seleksi Direksi dan Komisaris Diwarnai Kritik Integritas
.jpg?w=780&q=90)
Pekanbaru – Proses seleksi calon direksi dan komisaris Bank Riau Kepri Syariah (BRKS) kembali menuai sorotan. Aktivis anti-korupsi yang juga Ketua DPD KNPI Riau, Larshen Yunus, menuding lembaga keuangan daerah itu tak lebih dari sumber kerugian bagi masyarakat dan pemerintah provinsi.
“Sejak masih bernama Bank Riau Kepri hingga kini berganti menjadi BRK Syariah, pola kerjanya tetap sama: merugikan keuangan daerah,” kata Yunus ketika ditemui di Gedung Kejati Riau, Selasa, 30 September 2025.
Ia menilai, BRKS kerap mengalokasikan dana untuk kegiatan yang tak produktif, khususnya dalam penyaluran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). “Ratusan juta bahkan ratusan miliar rupiah dana CSR patut dipertanyakan. Mereka sering jadi sponsor acara, padahal bukan itu peruntukan CSR,” ujarnya.
Nama-nama yang Lolos
Di tengah kritik itu, Panitia Seleksi (Pansel) BRKS mengumumkan hasil uji kelayakan dan kepatutan untuk calon pimpinan baru. Nama-nama pejabat daerah mendominasi daftar kandidat.
Calon Komisaris Utama:
Syahrial Abdi (Sekretaris Daerah Provinsi Riau)
Helmi (Asisten III Setdaprov Riau)
Boby Rahmat (Kepala Kesbangpol Riau)
Calon Komisaris Independen:
Denny Muliya Akbar, Eka Afriadi, Heru Kurniawan, Irwan, Nizam, Suryo Kuncoro, Tatang Yudiansyah, Wachyono.
Calon Direktur Dana dan Jasa:
Andri Satria, Arhim Syafei, Edi Wardana, Muhammad Jazuli.
Calon Direktur Operasional:
Asj'ari, Slamet Riyadi, Wan Mukhlis, Yasral Yazid.
Menurut Ketua Pansel M Job Kurniawan, kandidat yang lolos akan menjalani wawancara langsung dengan Gubernur Riau pada 2 Oktober mendatang. Hasilnya akan dibawa ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, jabatan Direktur Utama BRKS belum dibahas dalam seleksi kali ini. “RUPS akan menentukan apakah posisi itu dibuka kembali atau tidak,” kata Job.
Integritas Pansel Dipertanyakan
Larshen Yunus meminta Pansel bekerja objektif dan tidak terjebak pada praktik nepotisme. “Jangan hanya karena satu kampung, sedarah, atau saudara, lalu dipilih orang yang tak punya kapasitas,” ujarnya.
Ia juga menyinggung integritas kelembagaan BRKS yang menurutnya lebih banyak “mendatangkan mudarat ketimbang manfaat”. Kritik Yunus semakin tajam karena ia menilai BRKS gagal menjadi instrumen pembangunan daerah.
“Bayangkan, jangankan soal dividen, dana retribusi dari sewa aset dan penyerapan uang masyarakat juga tidak jelas perhitungannya. Syariah hanya jadi label, substansinya tetap buruk,” katanya.
Pengangkatan dan pemberhentian Direksi serta Komisaris bank daerah seperti BRKS tunduk pada:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas – mengatur mekanisme RUPS dalam pengangkatan pengurus perseroan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah – menegaskan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan kepatuhan syariah.
POJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum – menuntut independensi, integritas, serta kompetensi dalam pengangkatan direksi dan komisaris.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah – menegaskan bahwa BUMD harus memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.
POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan – mewajibkan bank menyalurkan dana CSR sesuai prinsip keberlanjutan, bukan sekadar sponsorship acara.
Dasar hukum ini menjadi pijakan publik untuk mengkritisi dugaan penyalahgunaan CSR maupun praktik nepotisme dalam seleksi jabatan strategis.
Kini, sorotan publik tertuju pada RUPS yang akan digelar usai wawancara dengan gubernur. Keputusan pemegang saham dan sikap OJK akan menentukan apakah BRKS bisa keluar dari bayang-bayang tudingan korupsi terselubung dan kinerja merugi.
Di satu sisi, bank daerah ini dianggap sebagai motor penggerak ekonomi Riau dan Kepri. Di sisi lain, ia terus dirundung tuduhan penyalahgunaan CSR, dominasi pejabat birokrasi di jajaran direksi, hingga rendahnya transparansi laporan keuangan.
Bagi aktivis seperti Yunus, hasil seleksi kali ini akan menjadi ujian: apakah BRKS bisa menunjukkan integritas, atau justru semakin meneguhkan stigma lama sebagai bank daerah yang lebih banyak menjadi beban ketimbang solusi. (rls)