Zakat dan Misi Pemerataan Ekonomi Islam

Senin, 06 Oktober 2025 | 12:06:40 WIB
Zakat dan Misi Pemerataan Ekonomi Islami Foto: Foto Ilustrasi

Ketika ibadah menjadi solusi konkret atas kesenjangan sosial dan kemiskinan

Oleh: Kevin Mahardika
Mahasiswa STMIK Tazkia Bogor

Di tengah meningkatnya kesenjangan ekonomi dan krisis keadilan sosial, Islam menawarkan solusi yang tak lekang oleh waktu: zakat. Instrumen ini bukan sekadar ritual spiritual, tetapi sistem distribusi kekayaan yang jika dijalankan dengan benar, mampu menutup jurang antara si kaya dan si miskin.

Zakat mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan diukur dari seberapa besar harta yang dimiliki, melainkan dari seberapa banyak manfaatnya bagi masyarakat. Di sinilah ekonomi Islam menunjukkan keunggulannya: spiritualitas tidak terpisah dari tanggung jawab sosial.

Lebih dari Sekadar Ibadah

Secara bahasa, zakat berarti bersih dan suci. Tapi dalam praktiknya, zakat adalah mekanisme pembersihan harta dan jiwa. Allah berfirman:

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(QS. At-Taubah: 103)

Zakat bukan hanya kewajiban, melainkan sistem ekonomi yang mengalirkan sebagian kekayaan dari mereka yang berlebih kepada mereka yang kekurangan. Ia memastikan harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya (QS. Al-Hasyr: 7).

Menjawab Kesenjangan Sosial

Dalam sistem kapitalis, ketimpangan sering kali menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Sementara itu, Islam menempatkan zakat sebagai alat korektif — penyeimbang antara hak individu dan kepentingan sosial.

Jika dikelola dengan baik, zakat dapat mengurangi kemiskinan secara berkelanjutan. Pengalaman di Malaysia menunjukkan bagaimana zakat produktif membantu mustahik bertransformasi menjadi pelaku usaha mandiri.

Potensi zakat di Indonesia bahkan mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, namun realisasi pengumpulan masih jauh dari angka tersebut. Jika potensi ini dimaksimalkan, zakat bisa menjadi instrumen pemerataan ekonomi yang nyata, bukan sekadar jargon.

Dari Konsumtif ke Produktif

Lembaga resmi seperti BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) kini mulai bergerak ke arah profesionalisme. Zakat tak lagi sebatas bantuan konsumtif, melainkan dikembangkan dalam bentuk program produktif seperti:

  • Modal usaha mikro,
  • Pelatihan kerja,
  • Beasiswa pendidikan,
  • Program pertanian dan peternakan berbasis umat.

Dengan pendekatan ini, zakat berfungsi layaknya social safety net — jaring pengaman sosial yang tidak hanya menolong sementara, tetapi membangun kemandirian jangka panjang.

Tantangan dan Arah Baru

Sayangnya, banyak umat masih menyalurkan zakat langsung tanpa melalui lembaga resmi, sehingga distribusinya tidak terukur. Sebagian lembaga amil juga masih menghadapi persoalan transparansi dan akuntabilitas.

Ke depan, digitalisasi zakat menjadi kunci. Aplikasi penghimpunan zakat online, laporan keuangan terbuka, hingga audit publik harus menjadi standar baru agar masyarakat yakin bahwa zakat mereka tepat sasaran.

Zakat: Jalan Menuju Keadilan Sosial

Zakat bukan sekadar ibadah tahunan, tetapi strategi ekonomi Islam yang menyeimbangkan spiritualitas dan keadilan sosial. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati bukan tentang penumpukan harta, tetapi tentang pemerataan manfaat.

Jika dikelola secara profesional dan transparan, zakat mampu menjadi kekuatan besar dalam mengurangi kemiskinan dan memperkuat ekonomi umat. Dengan zakat, kekayaan berputar — bukan menumpuk. Dengan zakat, ekonomi menjadi berkah — bukan beban.

Kevin Mahardika
Mahasiswa STMIK Tazkia Bogor

 

Tulis Komentar