Kritik Pendidikan Cianjur
9 KM dari Kantor Bupati, Ruang Kelas Roboh di SMP Dibiarkan Apa Maksudnya ?

Oleh: Muhammad Fajar Firdaus
GENTAONLINE.COM-Tatkala kita mencermati motif pendirian Nahdhotul 'Ulama, pendidikan akan menjadi salah satu unsur cita-cita yang kita jumpai di dalamnya. Disamping sebagai pengamalan paripurna atas ilmu KH. Hasyim Asy'ari, tersemai pula cita-cita luhur untuk mendidik masyarakat di dalamnya.
Sejarah serupa juga menyeruak dari KH. Ahmad Dahlan sebagai penggagas Muhammadiyah; organisasi keumatan yang tercatat kini telah mendirikan lebih dari 2000 satuan pendidikan. Baik formal, maupun non-formal. Termasuk juga salah satu imam dari Cianjur; KH. Abdullah bin Nuh, beliau mencurahkan seluruh cita-cita untuk membangun masyarakatnya melalui pendidikan pesantren yang fenomenal di Cianjur, yakni Gentur. Padahal jika beliau berkenan, tokoh secerdas dan berpengaruh sekelesnya, bisa saja bersikap egois dengan hanya mementingkan karir individual-nya sendiri saja ke negera-negara lain. Begitulah nilai kesadaran & tajuk kearifan yang saya petik dari kiprah hidup para tokoh terkemuka di atas, di mana kesemuanya merupakan bentuk dari;
kesadaran atas betapa pentingnya pendidikan.
Kedudukan pendidikan menempati prioritas utama bagi pengharap peradaban berkembang.
Paripurna kiprah dan pengamalan ilmu manusia adalah menebar ilmu (pelaksanaan pendidikan).
Di Cianjur, nilai dan pencapaian itu seyogyanya dibanggakan dan kemudian diperjuangkan lebih lagi oleh generasi masyarakat selanjutnya. Itulah mengapa saya selalu berbangga hati, penuh percaya diri menjadi satu di antara warga Cianjur lantaran hendak mewarisi itu.
Namun seminggu lalu kepercayaan itu sirna. Dua kelas gardu di SMP Cendikia Sukahegar (SMP CS) rubuh pada 7 Maret lalu. Saya lantas berkunjung terdorong iba, berkesempatan berdialog dengan pimpinan lembaga penyelenggara, Dery Busaeri (Ketua Umum Yayasan Lathifa Cendikia). Dia mengaku telah mengajukan permohonan bantuan kelas secara berulang-ulang sejak tahun 2015, namun tidak kunjung mendapatkan konfirmasi yang jelas. Artinya bagi saya, selama tiga tahun ini, permohonan-permohonan itu tidak ditanggapi sama sekali. Seorang petani (wali siswa) tanggap melengkapi, bahwa saat ini masyarakat telah menggagas gerakan 1000 batako agar SMP CS lekas punya kelas. Beberapa pengusaha galian pasir sekitar juga telah memberi konfirmasi kepada aparatur desa Panyusuhan, bahwa pihaknya akan memberi bantuan berupa pasir. SMP CS mengaku tengah mengajukan diri agar menjadi penerima CSR (Corporate Social Reponsibility) dari sejumlah perusahaan.
Sebagai ketua umum salah satu organisasi mahasiswa yang aktif di Cianjur, saya tak berhenti keheranan. Dimana perhatian terhadap pendidikan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Cianjur yang bertanggungjawab mengakomodir pendidikan se-kota santri? terutama institusi pemerintah yang jelas bertugas mengurusi pendidikan jenjang SMP seperti Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur. Padahal lembaga tersebut berbekal APBD untuk alokasi pendidikan. Anggota perangkat legislatif komisi pendidikan Dapil 3 Cianjur (termasuk Kecamatan Sukaluyu) yang berjanji di masa kampanye 2014 lalu, juga kini menjadi tidak jelas berperan. Padahal konon, ketua DPRD Kabupaten Cianjur juga berasal dari desa yang sama dengan domisili SMP tersebut.
Pembangunan infrastruktur berupa jalan, monument tugu yang cenderung ceremonial, dicanangkan dari masjid agung Cianjur sampai Ciujung yang berjarak 166 KM lancar. Sebut saja tugu Quran, Gapura batas kecamatan dan Bomero City Walk begitu lancar. Tetapi SMP CS yang tidak punya kelas, hanya berjarak 9 KM dari kantor pusat pemerintahan kabupaten Cianjur. Dan konon, kediaman ketua umum DPRD Kabupaten Cianjur juga hanya berjarak 0,5 KM dari lokasi SMP CS. Apakah ini sebuah indikator bahwa tugu kota lebih penting dari pendidikan masyarakat? Saya khawatir, ada apa dengan analisis prioritas pembangunan daerah?
Kelangsungan kondisi pendidikan di SMP CS pasti berdampak langsung pada baik atau buruknya kualitas siswanya. Merenungi posisi upaya maksimal perangkat YLC, SMP CS dan masyarakat Desa Panyusuhan yang telah sinergis bahu membahu membangun pendidikan tanpa modal yang jelas hingga sekarang ini, mestinya menjadi tamparan keras terhadap keberadaan pemerintah daerah karena alfa dalam kewajiban ini. Hal lain yang menghantui juga, Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan data tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Cianjur, menempati peringkat ke-28 dari 28 daerah se-jawa barat pada Agustus 2017 lalu. Kini saya sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cianjur, hendak bertanya; mengapa pendidikan di Cianjur begitu memilukan, seperti ini?
Akhirnya di muka publik masyarakat Cianjur yang agamis, saya hendak menyeru; mari bersama kita ulurkan tangan untuk membantu SMP CS dan merubah taraf IPM Cianjur. Tak penting pemerintah atau bukan, sebab kesadaran terhadap pendidikan tak dapat diukur melalui legitimasi jabatan-jabatan. Meski masalah ini terjadi di Sukaluyu, namun akibatnya akan menimpa kita semua suatu waktu, jika tidak ditanggulangi segera. Cita-cita untuk membangun peradaban unggul dan berkualitas di Cianjur tanpa berbondong-bondong membangun pendidikan hanya akan menjadi ilusi.
Penulis merupakan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Cianjur