Kejaksaan dan Polisi Dianggap Lamban, Perambah Hutan Lindung Kota Garo Belum Tersentuh Hukum

Gentaonline.co.id--Minggu, 22 Desember 2024--Desakan publik untuk menindak tegas perambah kawasan Hutan Lindung di Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, semakin menguat. Hingga kini, upaya penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan jual beli ilegal lahan hutan masih jalan di tempat.
Padahal, bukti-bukti aktivitas ilegal, termasuk pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pendirian gudang, dan pabrik, sudah terang benderang. Tidak hanya merusak lingkungan, tindakan ini juga melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan).
“Kerusakan hutan Kota Garo sudah sangat parah. Ini adalah kejahatan lingkungan yang tidak bisa dibiarkan. Kejari Kampar dan Kapolda Riau harus segera menangkap pelakunya, baik itu aparatur desa maupun pihak-pihak lain yang terlibat,” tegas Wagimin, Ketua LSM Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI).
Jual Beli Lahan Ilegal Marak, Penegakan Hukum Mandek
Sumber terpercaya menyebutkan bahwa kawasan yang dahulu merupakan Hutan Lindung kini beralih fungsi menjadi perkampungan dan perkebunan sawit. Perubahan itu bermula dari pembagian lahan ilegal oleh oknum aparatur desa, yang kemudian diperjualbelikan tanpa dokumen resmi.
"Jual beli lahan di kawasan konservasi itu tindak pidana serius. Tidak hanya penjual, pembeli juga harus dihukum. Kejahatan seperti ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah," tambah Wagimin.
Kapolda Riau: Tuntaskan Konflik, Jangan Biarkan Berlarut-larut
Kapolda Riau, Muhammad Iqbal, sebelumnya telah menginstruksikan seluruh jajaran kepolisian di wilayahnya untuk segera menyelesaikan konflik-konflik terkait perambahan hutan. Dalam pernyataannya, Iqbal menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut.
"Jangan tunggu sampai kerusakan makin parah. Saya ingin dalam tiga bulan ke depan ada hasil nyata dari penyelesaian konflik ini," tegas Iqbal dalam sebuah pertemuan di Polda Riau, Oktober lalu.
Namun, hingga Desember 2024, belum terlihat langkah signifikan yang diambil oleh Polsek Tapung maupun Kejari Kampar untuk menangani pelanggaran di Kota Garo.
Belajar dari Kasus Banyuasin: Hukum Harus Tegas
Kasus serupa pernah terjadi di Banyuasin, Sumatera Selatan, di mana pembukaan lahan hutan lindung untuk perkebunan sawit ilegal berakhir dengan vonis berat bagi pelaku. Pemilik perusahaan sawit yang terbukti merambah kawasan hutan dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp3 miliar pada 2022.
Penanganan kasus itu melibatkan kerja sama erat antara kejaksaan, kepolisian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kejari Kampar dan Kapolda Riau diharapkan dapat meniru langkah serupa untuk menyelesaikan persoalan Kota Garo.
Hutan Lindung yang Terancam, Ujian Serius Penegak Hukum
Wagimin menegaskan, Hutan Lindung Kota Garo adalah bagian penting dari ekosistem Riau yang sudah banyak kehilangan kawasan hijau akibat alih fungsi lahan. “Hutan bukan hanya paru-paru dunia, tapi juga sumber kehidupan bagi masyarakat lokal. Jika terus dibiarkan, kerusakan ini akan berdampak serius, baik secara ekologis maupun sosial,” ujarnya.
Desakan untuk Kejari Kampar dan Kapolda Riau kini semakin keras. “Kami mendesak aparat untuk tidak hanya melakukan penindakan, tapi juga pencegahan. Kalau kasus ini tidak ditangani segera, jangan salahkan masyarakat jika mereka kehilangan kepercayaan pada penegak hukum,” tutup Wagimin.
Hutan Lindung bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Jangan biarkan Kota Garo menjadi bukti kegagalan penegakan hukum di Riau. (Lelek)