Hutan Konservasi di Desa Buluh Apo Berubah Menjadi Kebun Sawit, Kades Camat dan Banyak Oknum Terlibat

Pinggir – Kawasan Hutan Lindung di Desa Buluh Apo, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, kini telah berubah menjadi perkampungan dan perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini diduga terjadi karena kurangnya pengelolaan dari pemerintah, sehingga lahan tersebut dimanfaatkan oleh pihak desa dan kecamatan untuk diberikan kepada kelompok masyarakat tanpa dokumen resmi.
Kawasan yang sebelumnya merupakan lahan konservasi kini telah banyak berubah dengan keberadaan pemukiman dan perkebunan sawit. Bahkan, ditemukan adanya gudang atau pabrik yang telah berdiri, yang diduga melanggar Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/M-Ind/Per/3/2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri. Dalam aturan tersebut, jarak industri terhadap permukiman seharusnya minimal 2 kilometer untuk menghindari dampak negatif seperti pencemaran lingkungan dan polusi.
Selain digunakan sebagai permukiman dan perkebunan, lahan kosong di kawasan ini juga diduga diperjualbelikan oleh oknum tertentu. Hal ini menimbulkan permasalahan hukum bagi pihak yang membeli tanah tanpa kejelasan status legalnya.
Salah satu kasus yang terjadi adalah seorang warga berinisial HG, yang membeli lahan sekitar 5 kilometer dari Kantor Desa. Setelah mengelola lahan tersebut dengan menanami tanaman dan membangun pondok, bangunannya dirusak oleh oknum lain. HG kemudian melaporkan kejadian ini ke Polsek Pinggir, namun beberapa bulan kemudian dirinya justru ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penggunaan surat tanah palsu.
Pada pertemuan masyarakat di Polsek Pinggir pada Juli 2023, sempat diusulkan pengukuran ulang lahan agar masalah ini tidak berlarut-larut. Namun, usulan tersebut tidak mendapatkan respons dari pihak berwenang.
Terkait konflik lahan yang terjadi, Kapolda Riau, Irjen Pol M. Iqbal, menegaskan bahwa seluruh Kapolres harus segera mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik-konflik lahan di wilayahnya. Dalam acara sosialisasi UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dan PP No. 24 Tahun 2021, ia menyatakan bahwa penyelesaian konflik lahan tidak hanya harus dilakukan secara represif, tetapi juga dengan pendekatan pencegahan agar kasus serupa tidak terus berulang.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Genman Suhefti Hasibuan, menjelaskan bahwa jual beli lahan di kawasan konservasi dapat dikenakan sanksi pidana, baik terhadap penjual maupun pembeli. Namun, BBKSDA Riau hanya memiliki kewenangan di kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam, dan taman buru. Sedangkan kawasan hutan lindung dan hutan produksi merupakan tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.
Terkait dengan bangunan kantor desa yang berada di kawasan tersebut, BBKSDA Riau telah melakukan pengecekan lapangan dan memastikan bahwa bangunan tersebut berada di luar kawasan Suaka Margasatwa Balairaja, sehingga pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut.
Kasus ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari Komunitas Pecinta Alam Riau (Kopari). Wagimin, juru bicara Kopari, menegaskan bahwa aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam alih fungsi lahan ini.
"Aparat harus segera menindak para pelaku, mulai dari oknum kepala desa hingga camat yang terlibat. Mereka harus segera ditangkap dan diproses secara hukum," tegas Wagimin.
Kasus ini kembali menunjukkan bagaimana konflik lahan di kawasan konservasi masih menjadi persoalan serius di Riau. Kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum membuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakan lahan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan dapat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan persoalan ini, baik dengan pengukuran ulang lahan maupun tindakan hukum terhadap oknum yang terlibat dalam jual beli ilegal. Jika tidak segera ditangani, konflik agraria di wilayah ini dikhawatirkan akan terus berlanjut dan semakin sulit untuk diselesaikan. (lelek)