Masyarakat Desa Bumbung Tegaskan Tolak KSO, Siap Setor 20 Persen untuk Negara dari Lahan 364 Hektare

PEKANBARU — Genta Online – Perjuangan masyarakat Desa Bumbung, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Riau, atas lahan seluas 364 hektare yang mereka kelola sejak lama kembali mencuat. Mereka menegaskan menolak pola kerja sama operasional (KSO) yang ditawarkan pihak perusahaan dan memilih tetap mengelola lahan secara mandiri, dengan komitmen menyetor 20 persen dari hasil bersih panen untuk negara.
Sikap itu ditegaskan Andika Putra Kenedy, perwakilan masyarakat Desa Bumbung, seusai pertemuan dengan PT Agrinas Palma Nusantara di Candu Kofie, Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru, Kamis (10/10/2025). Pertemuan tersebut dihadiri General Manager, Manajer, dan Regional Head PT Agrinas.
“Kami sudah sampaikan dengan tegas kepada pihak Agrinas, kami tidak mau di-KSO-kan. Kebun 364 hektare itu sudah lama dikelola kelompok masyarakat. Jumlah kami hanya sekitar 182 kepala keluarga (KK), dan selama ini kebun itu menjadi sumber hidup bagi warga kecil di sini,” kata Andika, Minggu (12/10/2025).
Menurut Andika, masyarakat Desa Bumbung selama ini menjaga dan merawat kebun tersebut dengan baik. Hasil panen dari lahan itu digunakan untuk membantu kebutuhan ekonomi warga kelas menengah ke bawah di Bathin Solapan dan sekitarnya.
“Kebun ini bukan sekadar sumber ekonomi, tapi juga harapan hidup banyak orang. Kami rawat, kami jaga, dan hasilnya kami manfaatkan untuk masyarakat kecil,” ujarnya.
Tolak KSO, Tawarkan Setoran ke Negara
Andika menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak Agrinas sempat meminta agar setiap aktivitas pemanenan dilaporkan. Warga tidak keberatan memberikan laporan panen, tetapi tetap menolak skema KSO yang menurut mereka tidak berpihak kepada masyarakat.
“Kalau soal laporan panen, kami siap berikan. Tapi kalau harus ikut sistem KSO, kami menolak. Kami hanya menyanggupi menyetor 20 persen dari hasil bersih panen sebagai kontribusi nyata kepada negara,” tegas Andika.
Skema KSO yang ditawarkan, menurut masyarakat, berpotensi membuat petani kehilangan kendali atas hasil produksi dan lahan yang selama ini mereka kelola secara swadaya.
Lebih lanjut, masyarakat Desa Bumbung juga menegaskan bahwa kebun seluas 364 hektare tersebut tidak termasuk dalam lahan sitaan Satgas Penanganan Konflik Hak (PKH). Mereka mengaku memiliki data administrasi dan surat pengelolaan yang mendukung klaim tersebut.
“Kami akan tetap bertahan di kebun ini, karena kami punya bukti dan dasar hukum. Lahan kami tidak masuk dalam sitaan Satgas PKH. Kami hanya ingin hidup tenang dan berdaya di tanah kami sendiri,” tutup Andika.
Sikap masyarakat Desa Bumbung sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengakui hak rakyat atas tanah garapan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Selain itu, komitmen masyarakat menyetor 20 persen hasil panen kepada negara dapat dikaitkan dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sementara itu, data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan, konflik agraria di Riau sepanjang 2024 mencapai lebih dari 70 kasus, sebagian besar terkait tumpang tindih penguasaan lahan antara masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan. Kasus Desa Bumbung dinilai menjadi salah satu contoh tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan hukum atas lahan garapan lama yang mereka kelola.
Masyarakat berharap pemerintah pusat maupun daerah meninjau kembali kebijakan pengelolaan lahan yang melibatkan perusahaan swasta agar tidak merugikan warga lokal.
“Kami bukan mau melawan, kami hanya ingin kebijakan yang adil. Kalau kami sudah menjaga lahan ini puluhan tahun dan mau berbagi hasil dengan negara, mestinya itu diapresiasi, bukan ditekan,” ucap Andika menegaskan.
Sikap masyarakat Desa Bumbung dinilai sebagai simbol perlawanan masyarakat adat dan petani kecil terhadap praktik pengelolaan lahan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. (Lelek)