Kebun Sawit di Kawasan Hutan Kampar, Edi Basri Terancam Pidana Sesuai UU Kehutanan

Riau - Edi Basri, pemilik kebun sawit seluas 180 hektare yang terbukti berada di kawasan hutan di Kabupaten Kampar, Riau, menghadapi ancaman pidana sesuai Pasal 50 ayat (3) huruf a jo. Pasal 78 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
Kasus ini mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Edi Basri, memperkuat putusan Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang dan Pengadilan Tinggi (PT) Riau. Kedua putusan sebelumnya memerintahkan pemulihan kawasan hutan yang telah diubah menjadi kebun sawit oleh Edi Basri.
Ketua Yayasan Riau Madani, Surya Dharma, menyambut baik putusan MA. "Ini menjadi langkah penting dalam penegakan hukum untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan," katanya.
Desakan Proses Hukum. Kennedy, Ketua LSM Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI), meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau segera memproses pelanggaran pidana Edi Basri. Ia menegaskan bahwa eksploitasi kawasan hutan tanpa izin adalah tindak pidana serius.
"Ini bukan hanya soal pelanggaran administrasi, tetapi juga perusakan ekosistem yang berdampak luas. Kami mendesak Kejati Riau untuk menindak tegas dan memberi efek jera," ujar Kennedy.
Perbandingan dengan Kasus Lainnya
1. Kasus Surya Darmadi (PT Duta Palma)
Pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, dinyatakan bersalah mengelola ribuan hektare kebun sawit ilegal di kawasan hutan di Riau. Pada 2022, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar, dengan kerugian negara mencapai Rp39 triliun. Kasus ini menjadi salah satu contoh beratnya hukuman yang dapat dijatuhkan pada pelanggaran kehutanan yang melibatkan korporasi besar.
2. Kasus TGH Bimbim (2019)
Seorang petani bernama TGH Bimbim di Lombok dihukum 1 tahun penjara karena menanam jagung di kawasan hutan lindung tanpa izin. Meski skalanya kecil, ia tetap dikenai sanksi pidana sesuai UU Kehutanan. Kasus ini menuai kritik karena dianggap tidak sebanding dengan penanganan kasus perusahaan besar yang sering kali hanya dikenai denda administratif.
3. Kasus PTPN V (2020)
PTPN V diduga membuka kebun sawit seluas 1.000 hektare di kawasan hutan tanpa izin. Namun, kasus ini diselesaikan dengan denda administratif sebesar Rp150 miliar sesuai aturan turunan UU Cipta Kerja, meskipun UU tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Analisis Dampak Hukum.Kasus Edi Basri menunjukkan pergeseran pendekatan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran kehutanan. Jika kasus ini diproses pidana, hal ini akan menjadi sinyal bahwa eksploitasi hutan tanpa izin tidak bisa lagi diselesaikan hanya dengan denda administratif.
"Penegakan hukum yang konsisten akan melindungi hutan sebagai salah satu sumber daya vital bagi lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat," ujar Surya Dharma.
Dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun dan denda Rp5 miliar, diharapkan kasus ini menjadi preseden yang memberikan efek jera bagi individu atau korporasi yang merusak kawasan hutan tanpa izin. (Lelek)