Kasus Dugaan Limbah Batu Bara PT. RAPP di Pelalawan

Pelalawan, Riau – Kasus dugaan pelanggaran lingkungan terkait penumpukan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berupa batu bara reject dari PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mencuat di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Gudang tempat penumpukan limbah B3 ini berlokasi di KM7 Jalan Simpang Langgam, Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan Pangkalan Kerinci. Berdasarkan keterangan, aktivitas tersebut diduga tidak memiliki izin resmi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pelalawan, Eko Novitra, menegaskan bahwa pihaknya akan menyelidiki kasus ini. "Kami menerima laporan soal keberadaan gudang tersebut. Tim bidang penegakan hukum pencemaran lingkungan sudah diminta untuk mengecek lokasi dan memanggil pengusaha terkait untuk klarifikasi," ujar Eko ssbagaimana dlansir kabarrakyatcom ,pada Selasa (24/12).
Eko menekankan bahwa aktivitas penumpukan limbah B3, meskipun bersifat sementara, tetap memerlukan izin. "Penumpukan seperti ini sangat berisiko. Jika ada percikan api, limbah batu bara ini bisa memicu kebakaran. Selain itu, jika terjadi hujan, air lindi batu bara dapat mencemari lingkungan, mengingat batu bara ini tergolong limbah B3," tegasnya.
Pengakuan Pengelola dan Dugaan Pelanggaran. Hendro, salah satu pengurus tambang batu bara, mengakui bahwa gudang tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah. Ia menyebutkan bahwa gudang itu hanya digunakan untuk menampung batu bara reject yang tidak diterima oleh PT. RAPP.
"Izin tidak ada. Kami hanya menyewa tanah milik warga untuk menaruh batu bara sementara sebelum diangkut kembali ke pabrik," ujar Hendro. Aktivitas ini, menurutnya, sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan.
Namun, tindakan ini menuai kritik tajam dari masyarakat. Joni, seorang mahasiswa asal Pelalawan, mendesak DLHK agar serius menangani persoalan ini. "Jangan hanya lip service. Limbah B3 ini berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat. Ini jelas pelanggaran hukum yang tidak bisa dibiarkan," tegasnya.
Aktivitas penumpukan limbah B3 ini berpotensi melanggar sejumlah peraturan hukum, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 59: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 69: Larangan melakukan dumping limbah atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3
Pasal 6: Pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan izin dari pemerintah.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (yang diperbarui melalui UU No. 3 Tahun 2020):
Pasal 96: Pemegang IUP wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah B3
Pasal 5: Pengelola limbah B3 harus memiliki izin resmi.
Potensi Bahaya dan Harapan Penegakan Hukum. Limbah batu bara dapat mencemari air tanah dan merusak ekosistem jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu, risiko kebakaran akibat sifat mudah terbakar dari batu bara dapat menimbulkan ancaman bagi masyarakat sekitar.
DLHK Kabupaten Pelalawan diharapkan segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk melakukan investigasi mendalam dan, jika terbukti melanggar, memberikan sanksi sesuai ketentuan hukum. "Kami tidak ingin ada pembiaran dalam kasus ini. Lingkungan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas," tutup Eko Novitra.
Dengan berbagai fakta dan temuan, kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum lingkungan. (Lelek)