Abdul Dkk Segera Daftarkan Gugatan Baru Terhadap Pemkab Inhil di PN Tembilahan

PEKANBARU – Setelah keluarnya putusan perkara perdata Nomor 6/Pdt.G/2024/PN.Tbh pada 10 Desember 2024, yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri (PN) Tembilahan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara sengketa tanah antara Abdul Samad dan Pemkab Indragiri Hilir (Inhil), pihak penggugat segera mendaftarkan gugatan baru. Abdul Samad dan kuasa hukumnya merencanakan langkah hukum lanjutan melalui PN Tembilahan, dengan harapan sengketa kepemilikan tanah ini dapat diselesaikan sesuai dengan aturan hukum.
Putusan PN Tembilahan sebelumnya menilai telah terjadi penggabungan kewenangan antara dua jenis peradilan, yakni Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) dan Peradilan Umum, sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa di satu lingkungan peradilan saja. Dalam petitumnya, Abdul Samad meminta agar sertifikat tanah atas nama para tergugat dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kuasa hukum Abdul Samad, Triandi Bimankalid, S.H., M.H., menjelaskan bahwa gugatan baru yang akan diajukan akan berfokus pada aspek perdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum dan Pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang memisahkan kewenangan antara peradilan TUN dan umum.
"Perkara ini sebenarnya adalah sengketa kepemilikan tanah yang merupakan kewenangan peradilan umum. Kami akan segera mendaftarkan gugatan baru dan meminta semua pihak, terutama tergugat, untuk menghormati proses hukum yang ada," ujar Triandi.
Tindakan Pemkab Inhil Ditentang
Dr. Freddy Simanjuntak, S.H., M.H., ketua tim penasihat hukum Abdul Samad sekaligus Ketua DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Riau, menyoroti situasi di lokasi sengketa. Tanah yang terletak di Jl. H.R. Soebrantas, Tembilahan, telah digunakan oleh Pemkab Inhil untuk pembangunan gedung DPRD dan beberapa ruko. Sertifikat hak pakai atas nama Pemkab Inhil serta 12 sertifikat hak milik atas nama warga sipil lainnya diterbitkan oleh BPN Inhil pada 2008, setahun setelah tanah tersebut sebelumnya diakui sebagai milik Abdul Samad.
Freddy menyebutkan bahwa langkah Pemkab Inhil yang mendirikan bangunan tanpa menyelesaikan sengketa tanah terlebih dahulu menunjukkan arogansi kekuasaan. "Kami mendesak Pemkab Inhil untuk menghormati proses hukum dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan, termasuk pengiriman surat peringatan untuk membongkar bangunan milik klien kami," tegas Freddy.
Kasasi Mahkamah Agung. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Nomor 94 K/TUN/2024 tertanggal 27 Februari 2024 menyatakan gugatan Abdul Samad tidak dapat diterima. MA berpendapat bahwa sengketa ini berada dalam ranah peradilan umum, bukan peradilan TUN.
Namun, Freddy menekankan bahwa putusan tersebut tidak berarti pihak tergugat, yaitu Pemkab Inhil dan pihak terkait lainnya, menang. "Putusan itu hanya menyatakan gugatan tidak diterima karena ranah peradilan tidak sesuai. Tidak ada dalam putusan yang menyatakan sertifikat hak pakai dan hak milik tergugat sah secara hukum," ujar Freddy.
Konflik yang Berlarut-larut.Freddy juga menyoroti inkonsistensi kebijakan BPN Inhil, yang pada 2007 menerbitkan sertifikat hak milik atas sebagian tanah Abdul Samad, tetapi setahun kemudian menerbitkan sertifikat hak pakai untuk Pemkab Inhil di atas tanah yang sama.
“Hal ini menjadi akar konflik berkepanjangan yang hingga kini belum terselesaikan. Kami berharap gugatan baru ini dapat memberikan keadilan bagi klien kami dan pihak terkait,” kata Freddy.
Dengan gugatan baru yang segera diajukan, Abdul Samad dan kuasa hukumnya berharap proses hukum yang berjalan dapat berlangsung adil, transparan, dan menghormati hak semua pihak.***