Polda Riau Dalami Keterlibatan AFA Kadiskes Kampar Dalam Kasus Perambahan Hutan

Selasa, 24 Juni 2025 | 15:13:29 WIB
Polda Riau Dalami Keterlibatan AFA Kadiskes Kampar Dalam Kasus Perambahan Hutani Foto: Polda Riau membongkar kasus perambahan hutan di HPT Hutan Lindung Siabu, Kabupaten Kampar. (Foto: dok. Polda Riau)

Kampar – Kasus perambahan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar, terus menyeret nama-nama baru. Setelah sejumlah pelaku lapangan seperti MM, DM, dan MGT ditangkap Polda Riau, kini sorotan mengarah pada pejabat aktif Pemerintah Kabupaten Kampar berinisial AFA.

AFA yang menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kampar diduga kuat menguasai dan membuka lahan seluas 50 hektare di kawasan hutan Batang Lipai Siabu. Informasi ini muncul dari laporan masyarakat dan pantauan komunitas lingkungan, yang menilai aktivitas itu tak mungkin terjadi tanpa keterlibatan pihak berpengaruh di daerah.

Jubir Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI), Kenedy, mendesak Polda Riau untuk segera memeriksa AFA dan nama-nama lainnya yang disebut terlibat dalam praktik pembabatan hutan secara ilegal. Ia menilai langkah hukum yang selama ini dilakukan baru menyentuh aktor lapangan, sementara aktor intelektual masih dibiarkan melenggang bebas.

“Kami tidak sedang berasumsi. Ini berdasarkan laporan warga dan data yang kami kumpulkan di lapangan. Kalau Polda Riau serius, panggil dan periksa AFA. Jangan hanya tangkap orang kecil dan biarkan pejabat duduk nyaman,” tegas Kenedy, Selasa (24/6/2025).

Kasus ini bermula dari operasi Satgas Penanggulangan Perambahan Hutan yang menemukan penjaga kebun bernama Suhendra, yang mengaku menjaga lahan MM seluas 50 hektare di kawasan hutan lindung Batang Ulak dan hutan produksi terbatas Batang Lipai Siabu. MM mengaku bekerja sama dengan B dalam sistem bagi hasil. Sementara DM, seorang ninik mamak, juga ikut ditangkap karena mengaku mengizinkan aktivitas itu dan menyatakan memiliki tanah ulayat 6.000 hektare.

Polisi juga mengamankan MGT yang memiliki 10 hektare lahan di lokasi yang sama, yang dibeli dari R, dan lagi-lagi DM disebut sebagai orang yang memberi izin adat. Polda Riau menyatakan, kasus ini dilakukan oleh perseorangan, bukan korporasi. Namun KOPARI menolak anggapan bahwa ini murni aksi individu tanpa dukungan jaringan kekuasaan lokal.

Menurut Kenedy, kejahatan lingkungan tidak akan terjadi tanpa pembiaran. Ia menekankan bahwa sudah saatnya aparat penegak hukum menyentuh nama-nama besar, termasuk pejabat aktif, politisi, dan tokoh adat yang memperdagangkan kawasan hutan atas nama ulayat.

Para pelaku perambahan dijerat dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juncto Pasal 92 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan, serta UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukuman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda miliaran rupiah menanti mereka yang terbukti bersalah.

Jika AFA terbukti terlibat, maka ia juga berpotensi dijerat pasal yang sama. Kenedy menegaskan bahwa KOPARI akan melaporkan kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika Polda Riau dianggap lamban atau terkesan tebang pilih dalam proses penegakan hukum.

“Kami tidak akan diam. Kalau pejabat dibiarkan karena jabatannya, maka ini bukan lagi soal hutan, tapi soal keberanian negara menegakkan hukum. Kami siap buka semua data,” pungkasnya.

Sampai berita ini diterbitkan, AFA belum memberikan tanggapan resmi atas dugaan keterlibatan dalam kasus perambahan hutan tersebut. (*)

 

Tulis Komentar