Kasus Perambahan Hutan Kampar Kiri dan Penundaan Sidang Burhan

Kampar, Desember 2024 – Kasus perambahan hutan di Kampar Kiri, Riau, terus menjadi perhatian publik. Penegakan hukum terhadap pelaku perambahan di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling mengungkap nama Burhan, yang sebelumnya hanya disebut dengan inisial B, sebagai salah satu tokoh kunci dalam kasus ini.
Pada Agustus 2024, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau menangkap Burhan bersama W, seorang operator alat berat. Keduanya diduga membuka lahan perkebunan seluas 4 hektare di kawasan hutan lindung Desa Kuntu Darussalam, Kampar Kiri. Aktivitas ilegal ini dilakukan menggunakan alat berat merek Sanny SY215c.
Burhan disebut sebagai otak di balik aksi perambahan ini, sementara W hanya berperan sebagai operator alat berat. Penangkapan ini merupakan bagian dari upaya Polda Riau memberantas perusakan lingkungan. Keduanya dijerat dengan Pasal 92 ayat (1) huruf a dan b Jo Pasal 17 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
Sementara itu, persidangan Burhan yang digelar di Pengadilan Negeri Bangkinang pada 24 Desember 2024 ditunda oleh Majelis Hakim. Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Soni Nugraha, SH, MH, bersama dua hakim anggota, dijadwalkan ulang pada 8 Januari 2024 mendatang. Penundaan ini terjadi karena ketidakhadiran saksi kunci yang seharusnya dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ketidakhadiran saksi menjadi sorotan mengingat kasus ini sudah dinyatakan lengkap sejak 27 Agustus 2024. Jaksa Penuntut Umum Zhafira Syarafina, SH, enggan memberikan keterangan terkait absennya saksi tersebut. Kuasa hukum Burhan menilai ini sebagai bukti kurangnya kesiapan pihak kejaksaan dalam menangani kasus ini.
Meski ditetapkan sebagai tersangka utama, tim kuasa hukum Burhan menyebut bahwa kliennya hanyalah seorang buruh harian yang bekerja untuk mengelola lahan atas perintah pemilik sebenarnya. Lahan tersebut memiliki dokumen Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang diterbitkan oleh kepala desa dan camat setempat.
“Burhan hanyalah pekerja kecil. Kalau memang lahan itu kawasan hutan, bagaimana bisa ada dokumen resmi seperti SKGR?” ujar salah satu kuasa hukum. Mereka juga mempertanyakan mengapa pemilik lahan yang sesungguhnya tidak pernah diperiksa oleh penyidik.
Tim kuasa hukum berharap sidang lanjutan dapat mengungkap kebenaran di balik tuduhan terhadap Burhan. Mereka juga menuntut penyidik untuk memeriksa semua pihak yang terlibat, termasuk pemilik lahan.
“Kami mendukung penegakan hukum, tapi harus adil. Jangan sampai rakyat kecil seperti Burhan menjadi korban,” tegas kuasa hukum.
Sidang berikutnya dijadwalkan pada 8 Januari 2024. Kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kebenaran, serta melindungi hak masyarakat kecil dari ketidakadilan hukum. (Lelek)