COVID-19 PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Oleh: Muhammad Al Fajri
GENTAONLINE.COM - Islam merupakan agama yang memiliki sifat universal dan komprehensif (kaaffah). Ke-universalan Islam dapat dimaknai, bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi. Hal ini dapat di implementasikan berdasarkan dimensi waktu (dalam setiap waktu) dan dimensi tempat (sampai akhir zaman), sedangkan sifat komprehensif (kaaffah) dimaknai pula sebagai ajaran yang lengkap dan sempurna (syumul).
Kesempurnaan ajaran Islam, dapat ditandai dari pengaturan keseluruhan aspek kehidupan manusia, tidak hanya aspek spiritual (hablumminallah), tetapi juga aspek mu’amalah (hablumminannas) yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sebagainya.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari berbagai masalah-masalah ekonomi yang disandarkan pada nilai-nilai Islam. Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai ekonomi bersumber pada dua hal yakni: Al-Qur’an dan As-Sunnah, berupa prinsip-prinsip yang bersifat universal, yang meliputi segenap aspek kehidupan umat manusia dan selalu ideal untuk masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Salah satu bukti didalam kehidupan yang aktual, misalnya: daya jangkau dan daya aturnya didalam bidang perekonomian umat manusia. Di saat sistem ekonomi lain hanya berfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu aktivitas ekonomi, maka ekonomi Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam setiap aktivitas ekonomi.
Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap aktivitas ekonomi Islam, sehingga Islam tidak menghendaki pemeluknya menjadi mesin ekonomi, yang melahirkan budaya materialisme (hedonisme). Pandemi Covid-19 telah memberi pengaruh global terhadap banyak aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi Islam. Covid-19 secara umum akan menaikkan pengeluaran pemerintah (government spending).
Faktanya, justru pemerintah mengalami keterbatasan untuk menaikkan government spending. Apabila di cermati dari: (1) sisi pajak yang masih belum optimal, (2) menerbitkan bond yang nantinya terbentur rating dan ambang batas dari ‘debt to GDP ratio’, (3) peminjaman ke IMF yang menyebabkan terdiktenya sistem keuangan/perekonomian negara, (4) kebijakan moneter, (5) kebijakan mencetak uang sendiri, dan (6) kondisi yang serba dilematis, berarti terjadilah ketimpangan.
Ketimpangan yang menyebabkan terjadi gap, pastinya dapat disempurnakan dengan menggunakan instrumen pedoman Islam (Islamic guidance) yang sebenarnya telah dibahas oleh para ulama pendahulu, berkenaan dengan topik-topik keuangan Islam. Satu diantaranya adalah Kitab al-Amwal karangan Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam.
Seringnya, pembahasan mengenai keuangan publik Islam dalam kitab tersebut yang selalu menyinggung instrumen zakat. Maka bersumber dari sinilah instrumen zakat dipercaya sebagai penyeimbang, dalam menyeimbangkan antara pelaku ekonomi berkekurangan dana dengan pelaku ekonomi berkelebihan dana dalam perekonomian yang sudah ada, baik rumah tangga konsumen maupun rumah tangga produsen.
Zakat dalam pemahaman fikih merupakan sebuah sistem penyeimbang dari pertemuan kaum muslim yang mengalami kelebihan (surplus) dana dengan kaum muslim yang mengalami kekurangan (defisit) dana. Proses penyeimbangan ini tentunya punya harapan akhir yakni terjadi pemerataan pendapatan umat muslim atau sangat idealnya adalah menjadikan kelompok muslim berkekurangan (mustahik) menjadi kelompok muslim berkelebihan (muzzaki).
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, maka zakat bukan hanya bertujuan untuk duniawi saja, diantaranya menstabilkan kondisi ekonomi dampak dari pandemi Covid-19, akan tetapi juga memiliki implikasi kehidupan akhirat. Situasi dan kondisi demikianlah yang menjadikan perbedaan antara sistem ekonomi pasar (konvensional) dengan sistem ekonomi Islam.
Untuk lebih jelas dapat didalami dengan Al’Quran Surat At-Taubah, Ayat 103 berikut ini : ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Yang memiliki makna: zakat dapat membersihkan diri dari kekikiran dan cinta yang sangat berlebihan terhadap harta benda dan zakat tersebut dapat pula menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
Zakat memiliki dua aspek dalam pengkajiannya, yakni (1) Aspek Religius dan (2) Aspek Politik. Zakat berdasarkan aspek politik, perkembangannya belum dapat dikatakan signifikan memperkecil jarak antara mustahik dengan muzzaki. Hal ini ditandari dari belum optimalnya penghimpunan dana zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), baik di tingkat pusat maupun daerah mewakili pemerintah, mapun Lembaga Amil Zakat (LAZ) mewakili swasta.
Dimana para muzakki memilih mendistribusikannya secara individual, dengan demikian yang tertinggal hanyalah aspek religius. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masih kurang efektifnya zakat sebagai instrumen penyeimbang serta alat pendistribusian pendapatan yang bersifat netra.