TNTN, Negara, dan Janji yang Tak Boleh Gagal
.jpg?w=780&q=90)
Di bawah langit Pelalawan yang dulunya teduh oleh kanopi hutan, hari ini matahari membakar tanah yang gersang.
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yang dahulu menjadi simbol kebanggaan ekologis Riau, telah lama berubah menjadi medan konflik antara manusia, gajah, dan harimau—antara negara dan para mafia. Tapi semua belum terlambat, selama ada keberanian untuk melawan.
Saya tumbuh di sisi hutan itu. Di bawah rindang pepohonan, di antara suara burung dan desir sungai, saya belajar mencintai alam seperti mencintai ibu sendiri. TNTN bukan sekadar kawasan lindung, tapi jantung dari warisan leluhur yang hidup dalam syair-syair Tunjuk Ajar Melayu: menjaga tanah, menjaga rimba, menjaga kehidupan. Itu bukan puisi kosong, tapi etika hidup yang mengakar dalam darah orang kampung.
Kini, hutan itu tak lagi seperti dulu. Perambahan massif terjadi dalam diam, atau lebih buruk lagi, dalam persetujuan diam-diam. Alat berat masuk, kayu-kayu besar menghilang, dan jejak-jejak hewan langka digantikan jejak ban truk pengangkut sawit. Gajah kelaparan masuk kampung. Harimau kehilangan wilayah jelajah. Dan negara, untuk waktu yang lama, terlalu lamban menanggapi.
Namun kali ini ada yang berbeda. Presiden Republik Indonesia ke-8, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato-pidato yang membuat kami—anak kampung yang nyaris putus asa—merasa punya harapan baru.
Ia bicara tentang pengabdian, keberanian, dan kematian di atas kebenaran. Ia menyebut kesetiaan kepada rakyat sebagai kemuliaan. Retorika itu memang indah, tapi yang membuatnya bermakna adalah langkah nyata yang mengikuti: pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025.
Satgas ini bukan sekadar simbol. Ia harus menjadi garda depan. Tidak hanya menggusur kebun-kebun ilegal, tapi juga mengungkap siapa di belakangnya. Jangan sampai operasi hanya menyasar petani kecil yang didorong keadaan, sementara pemodal besar, pembeli kayu, dan pembeking dari aparat tetap bersih dari jerat hukum. Jangan sampai negara kembali kalah oleh keakraban antara kuasa dan uang.
Masyarakat tidak butuh seremoni. Mereka butuh keadilan ekologis. Butuh jaminan bahwa relokasi dilakukan dengan manusiawi. Bahwa anak-anak mereka masih bisa sekolah, barang mereka bisa dipindah, dan kehidupan baru mereka tidak lebih menderita dari kehidupan lama yang dirampas. Negara harus hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tapi juga sebagai pelindung martabat warga.
TNTN adalah medan ujian. Jika negara bisa menang di sini, ia bisa menang di tempat lain. Tapi jika kalah lagi—kalah oleh kompromi, oleh transaksi, oleh ketakutan terhadap para mafia—maka hutan Indonesia akan habis bukan karena ketidaktahuan, tapi karena kelalaian yang disengaja.
Sudah cukup waktu terbuang. Sudah cukup banyak pidato. Sudah cukup banyak data, kajian, dan liputan investigatif. Sekarang waktunya eksekusi. Cabut izin perusahaan yang terbukti merusak. Bongkar jaringan ilegal loging dan land clearing. Periksa pejabat yang terlibat. Dan pulihkan TNTN sebagai paru-paru Riau, bahkan dunia.
Kami, anak-anak kampung Melayu, tidak menuntut janji surga. Kami hanya ingin anak cucu kami bisa mendengar suara hutan seperti kami dulu. Kami hanya ingin keadilan alam ditegakkan dengan keberanian manusia. Kami hanya ingin negara, untuk sekali ini saja, hadir sepenuhnya—dengan nyali, nurani, dan tanggung jawab sejarah.
Oleh TMA, Anak Kampung Melayu Pelalawan dan Mantan Aktivis HMI